17.12.08

Menghargai Tradisi Batik


Bila mengaku sebagai orang Indonesia, harusnya bukan baru sekarang menyoroti keberadaan batik. Padahal maestro batik non-Indonesia saja mati-matian berkarya mempopulerkan batik agar kelak bisa dinikmati banyak orang.

Lewat sejarah dan buku-buku tekstil, harusnya kita tahu bahwa batik sudah dikenal nenek moyang kita sejak abad 17.Hal ini dibuktikan dengan goresan, lukisan dan tulisan pada daun lontar, motif-motif yang terbatas pada bentuk binatang dan tanaman yang kemudian bermetamorfosis menjadi motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang, dsb.

Seiring perkembangan zaman, beragam jenis, corak dan motif batik pun bertumbuhan. Hal ini berhubungan erat dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang beragam.

Kerajaan Majapahit, Mataram, Solo, dan Yogyakarta, bahkan memasukkan daftar kegiatan membatik di atas kain sebagai kegiatan utama lingkungan kerajaan. Namun lama kelamaan, lingkungan di luar keraton pun mulai mencontek apa yang dilakukan ratu, permaisuri, dan selir-selir di balik tembok keraton.

Teknik merintang warna dengan menggunakan lilin, menggambar motif dengan bantuan canting dan pencelupan warna yang menggunakan sari pati pohon mengkudu, tinggi, soga, dan nilai itu lalu menjamur ke berbagai pelosok negeri.

Pekalongan yang dulu sering bersinggungan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang disebut-sebut sebagai salah satu kota yang mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik yang kita kenal hingga kini.

Tentunya masih ada kota-kota lain seperti Solo, Yogya, Madura, Cirebon, Garut hingga Jambi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Di Solo, ada seorang maestro batik yang mungkin namanya hanya terngiang di telinga segelintir orang. Baru-baru ini sekelompok perempuan yang tergabung dalam perkumpulan pencinta kain Ratna Busana mengadakan peragaan kain-kain sang maestro.

Dialah Go Tik Swan, namun lebih dikenal dengan sebutan KRT Hardjonagoro. Ia adalah putra sulung keluarga Tionghowa di Solo. Kakeknya seorang pengrajin dan pengusaha batik yang memiliki empat workshop dengan 1.000 karyawan.

Sejak kecil Hardjonagoro sudah akrab dengan lingkungan pembatik dan alat-alatnya. Namun ia lebih tertarik mendengarkan dongeng tentang Dewi Sri, belajar gending, huruf Hanacaraka, dan tarian Jawa.

Sastra Jawa juga menarik minatnya hingga ia nekat pergi ke Jakarta, mengambil kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hardjonagoro tergerak untuk pulang ke Solo mendalami falsafah Jawa dan mencari inspirasi hingga ke makam para sunan. Dia juga memiliki ciri khas sebagai pembatik dengan Warna Sogan yang umumnya dipakai pada batik Solo dan Yogya dikawinkan dengan warna-warna pesisiran yang cerah, bukan hanya coklat, biru, dan putih kekuningan.
Metamorfosis bentuk motif juga turut menyemarakkan lahirnya Batik Indonesia karya Hardjonagoro. Kini, bila menyebut namanya, biasanya kita mengacu kepada sebutan batik Istana

Hal ini karena Presiden Soekarno pada masa kepemimpinannya sering menghadiahkan batik tulis buatan Hardjonagoro ini kepada para raja dan first lady. Salah satu yang menerima hadiah itu adalah Ratu Sirikit dari Thailand.
Ia juga pernah membuat Sri Narendra, yakni parang rusak yang dikombinasikan dengan lambang kerajaan Surakarta, yang khusus diciptakan untuk Paku Buiwono XII.

Sejumlah seniman batik lain juga turut andil dalam menjadikan batik semarak seperti sekarang. Kalau bukan kita sendiri yang memakai dan menghargai batik, lantas siapa lagi?

Sulha Handayani / inilah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar