Bila mengaku sebagai orang
Lewat sejarah dan buku-buku tekstil, harusnya kita tahu bahwa batik sudah dikenal nenek moyang kita sejak abad 17.
Seiring perkembangan zaman, beragam jenis, corak dan motif batik pun bertumbuhan. Hal ini berhubungan erat dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang beragam.
Kerajaan Majapahit, Mataram, Solo, dan
Teknik merintang warna dengan menggunakan lilin, menggambar motif dengan bantuan canting dan pencelupan warna yang menggunakan sari pati pohon mengkudu, tinggi, soga, dan nilai itu lalu menjamur ke berbagai pelosok negeri.
Pekalongan yang dulu sering bersinggungan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang disebut-sebut sebagai salah satu kota yang mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik yang kita kenal hingga kini.
Tentunya masih ada kota-kota lain seperti Solo, Yogya, Madura,
Di Solo, ada seorang maestro batik yang mungkin namanya hanya terngiang di telinga segelintir orang. Baru-baru ini sekelompok perempuan yang tergabung dalam perkumpulan pencinta kain Ratna Busana mengadakan peragaan kain-kain sang maestro.
Dialah Go Tik Swan, namun lebih dikenal dengan sebutan KRT Hardjonagoro. Ia adalah putra sulung keluarga Tionghowa di Solo. Kakeknya seorang pengrajin dan pengusaha batik yang memiliki empat workshop dengan 1.000 karyawan.
Sejak kecil Hardjonagoro sudah akrab dengan lingkungan pembatik dan alat-alatnya. Namun ia lebih tertarik mendengarkan dongeng tentang Dewi Sri, belajar gending, huruf Hanacaraka, dan tarian Jawa.
Sastra Jawa juga menarik minatnya hingga ia nekat pergi ke
Metamorfosis bentuk motif juga turut menyemarakkan lahirnya Batik
Hal ini karena Presiden Soekarno pada masa kepemimpinannya sering menghadiahkan batik tulis buatan Hardjonagoro ini kepada para raja dan first lady. Salah satu yang menerima hadiah itu adalah Ratu Sirikit dari
Ia juga pernah membuat Sri Narendra, yakni parang rusak yang dikombinasikan dengan lambang kerajaan
Sejumlah seniman batik lain juga turut andil dalam menjadikan batik semarak seperti sekarang. Kalau bukan kita sendiri yang memakai dan menghargai batik, lantas siapa lagi?
Sulha Handayani / inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar